Oleh : Monalisa Simbolon, Wina Tricahyani Sianturi, Ninda Theresia Sipayung
Sejak Reformasi 1998, pemilu menjadi jantung demokrasi di Indonesia. Ia tidak hanya menjadi penanda peralihan dari rezim otoriter ke era demokrasi, tapi juga menjadi instrumen utama rakyat untuk menyuarakan kedaulatannya. Namun, setelah lebih dari dua dekade, publik masih bertanya-tanya: apakah sistem pemilu kita telah benar-benar mewakili rakyat, atau hanya memfasilitasi segelintir elite untuk terus bertahan?
Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., seorang pakar hukum tata negara Indonesia dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, pemilu memiliki peran yang sangat penting dalam sistem demokrasi. Jimly menyatakan bahwa pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih wakil-wakil mereka dalam lembaga perwakilan maupun pemimpin eksekutif. Dalam demokrasi konstitusional, pemilu adalah mekanisme utama untuk mewujudkan prinsip “rakyat yang berdaulat”. Jimly menekankan pentingnya pemilu yang dilaksanakan secara demokratis, bebas, jujur, adil, dan transparan serta sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi. Pemilu tidak boleh hanya formalitas, tapi harus mencerminkan kehendak rakyat yang sejati.[Jimly Asshiddiqie:2015:xvi].
Undang-undang yang mengatur Sistem pemilu dalam konteks Indonesia diatur dalam Pasal 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum Undang- undang ini mengatur berbagai aspek pemilu termasuk pemilihan anggota DPR, DPD,dan DPRD, Serta pemilihan Presiden dan Wakil presiden. Selain itu, ada juga Undang- undang nomor 7 tahun 2023 yang merupakan penetapan peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang.
Secara historis, Pemilu di Indonesia sudah diselenggarakan sebanyak dua belas kali yaitu Pemilu 1955 di masa Orde Lama, Pemilu 1971, Pemilu 1977, Pemilu 1982, Pemilu 1987, Pemilu 1992, Pemilu 1997 dimasa Orde Baru, serta Pemilu di masa Orde Reformasi yaitu Pemilu 1999, Pemilu 2004, Pemilu 2009, dan Pemilu 2014. Pemilu selanjutnya di era Reformasi yaitu Pemilu 2019 akan diselenggarakan pada tahun 2019 mendatang. Sebelum menerangkan mengenai pemilu di era Reformasi terlebih dahulu dibahas mengenai latar belakang lahirnya era Reformasi yang dimulai pada 1998 menjadi awal pemilu demokratis di Indonesia. Latar belakang dari terselenggaranya Pemilu di era Reformasi adalah melemahnya pemerintah Orde Baru hingga turunnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 serta terjadinya peralihan kekuasaan ke era Reformasi.Pada akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an, hampir seluruh belahan dunia dilanda oleh angin besar proses demokratisasi. Perjuangan menuju tatanan itu menjadi ciri penting perkembangan politik di masa tersebut.
Sistem pemilu merupakan gambaran perwujudan dari demokrasi yang sebagai wujud dari sila keempat dalam pancasila. Belum terlaksananya demokrasi sebagai wujud sila keempat pancasila dalam pemilu di indonesia dapat dilihat dari beberapa contoh kasus pemilu sering terjadi berbagai macam konflik. Penyebab dari konflik itu pun beragam, dimulai dari partai politik yang belum mencerminkan demokrasi, konflik internal dalam patai, calon dari partai politik yang tidak mau menerima kekalahan dan pendukung dari parpol tidak realistis dalam menghadapi kekalahan calon yang didukungnya Oleh karena itu, negara yang akan berupaya untuk mewujudkan demokrasi, maka diperlukan adanya perkembangan dalam dinamika pemilu daerah di indonesia. Salah-satu contoh bentuk adanya demokrasi dalam konteks pemilu iadalah adanya calon pemimpin yang berkompetisi secara independen, yang artinya berkompetisi tanpa melibatkan parpol. Akan tetapi, pemilu di indonesia sangat sulit melakukan pemilu secara independen dan juga harus memenuhi syarat ketentuan yang sangat berat dan hal tersebut memungkinkan bakal calon pemimpin menjadi gugur.(Mulyono & Fatoni, 2019).
Sistem Pemilihan Umum merupakan metode yang didalamnya suara suara yang diperoleh dalam pemilihan diterjemahkan dalam parlemen oleh partai partai dan para kandidatnya.Sebagai negara yang menganut system demokrasi, Indonesia menempatkan Pemilu sebagai sarana utama untuk memilih wakil rakyat di Lembaga Legislatif dan pemimpin di Lembaga Eksekutif, baik ditingkat Nasional maupun Daerah. Sistem pemilihan umum di Indonesia terus berkembang seiring perubahan Politik, Hukum dan Sosial dalam Masyarakat. Di Indonesia, sistem pelaksanaan pemilihan umum diatur pada pasal 22E ayat 5 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan bahwa “ Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi Pemilihan Umum yang bersifat Nasional, Tetap dan Mandiri. Secara umum, terdapat empat sistem pemilihan umum yaitu:
1. Sistem Proporsional daftar tertutu (Closed list system), Dalam sistem ini para pemilih dipaksa memilih partai, bukan calon yang bertarung. Kursi yang diberikan kepada partai sesuai dengan ranking yang telah dibuat oleh pimpinan partai. Dengan sistem ini, akan tercipta Disiplin yang tinggi dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat terhadap partainya dalam memainkan peranan Sentral pimpinan partai. Di Indonesia, sistem ini pernah digunakan pada masa awal reformasi, yakni dalam pemilu 1999. Namun sejak pemilu 2009, Indonesia beralih ke sistem Proposional terbuka, Dimana pemilih dapat langsung memilih calon Legislatif. Meskipun demikian, diskusi mengenai kemungkinan Kembali ke sistem daftar tertutup terus bergulir, terutama dikalangan akademisi dan politisi.
2. Sistem Proporsional terbuka, dengan sistem ini para pemilih tidak hanya memilih partai, tetapi juga memilih calon yang dikehendaknya. Pemilih, disamping mencoblos tanda gambar, juga mencoblos gambar dan nama calon yang dikehendakinya. Kelebihan sistem ini adalah para pemilih, bukan pemimpin partai, yang lebih menentukan calon mana yang dikehendaki dan calon mana yang ditolak. Sistem ini ditegaskan dalam pasal 22E ayat 1 UUD 1945 dan Undang undang Nomor 7 tahun 2017 yang menekankan prinsip Pemilihan Umum yang Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil.
3. Sistem Campuran (Mixed systems), Sistem pemilihan Umum campuran adalah sistem pemilu yang menggabungkan dua metode utama, yaitu sistem Mayoritas (Pluralitas) dan Sistem Proporsional. Sistem ini dirancang untuk menggabungkan keunggulan kedua sistem tersebut sekaligus mengurangi kelemahannya. Dalam konteks Indonesia, wacana sistem campuran pernah muncul sebagai respons atas kelemahan sistem Proposional Terbuka, seperti politik Uang dan persaingan tidak sehat antar caleg dalam satu partai. Sistem Campuran dinilai dapat meningkatkan kualitas perwakilan politik, dengan tetap memberikan ruang kepda partai politik untuk menentukan sebagian wakil rakyat, sekaligus memungkinkan rakyat memilih wakilnya secara langsung di Daerah.
4. Sistem Lain lainnya (Other systems), Sistem Lain Lain dalam pemilihan umum merupakan sebagai sistem Pemilihan Umum yang Alternatif atau varian yang berbeda dari sistem utama(Pluralitas, Proposional dan Campuran) yang mungkin diterapkan dibeberapa negara atau dalam konteks tertentu untuk menyesuaikan kebutuhan politik.
Sejak Reformasi 1998, pemilihan umum (pemilu) menjadi simbol utama demokrasi di Indonesia. Pemilu tidak hanya menjadi sarana sirkulasi kekuasaan, tetapi juga cermin kualitas keterwakilan rakyat dalam politik. Namun setelah lebih dari dua dekade, kita masih bertanya-tanya: apakah sistem pemilu kita benar-benar demokratis, atau justru makin tersandera oleh kepentingan elite dan politik uang?
Pemilu 1999 adalah pemilu pertama pasca-Soeharto, menggunakan sistem proporsional tertutup (closed list), di mana pemilih hanya mencoblos partai, bukan calon. Hasilnya, partai politik memegang kontrol penuh atas penentuan caleg yang duduk di DPR. Sistem ini memunculkan kritik karena meminggirkan suara individu pemilih.
Pemilu 2004 menjadi tonggak penting karena untuk pertama kalinya rakyat memilih Presiden secara langsung. Sistem pemilu legislatif juga berubah ke proporsional terbuka (open list), di mana pemilih memilih langsung calon legislatif. Meski dianggap lebih demokratis, sistem ini membuka ruang persaingan tidak sehat antar-caleg satu partai, memicu inflasi biaya politik dan maraknya praktik vote buying.
Pemilu 2009 menguatkan sistem proporsional terbuka, disertai parliamentary threshold 2,5%. Caleg dengan suara terbanyak langsung terpilih, tapi praktik politik uang semakin masif. Pemilu ini mulai menguji batas antara demokrasi formal dan realitas oligarkis.
Dengan ambang batas naik ke 3,5%, Pemilu 2014 memperlihatkan dua hal: penguatan partai dominan seperti PDIP, dan polarisasi politik dalam Pilpres antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Isu agama, etnis, dan identitas politik dimobilisasi secara masif—gejala yang semakin menajam di pemilu berikutnya.
Pemilu 2019 menjadi pemilu serentak pertama (Pilpres dan Pileg dilakukan bersamaan). Tekanan pada penyelenggara luar biasa, bahkan ratusan petugas meninggal karena kelelahan. Sistem pemilu tetap menggunakan proporsional terbuka, tetapi muncul kritik keras terhadap ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold 20%) yang dianggap membatasi hak politik partai kecil dan mempersempit pilihan rakyat.
Pemilu 2024 masih menggunakan UU No. 7 Tahun 2017, mempertahankan sistem proporsional terbuka meski sempat digugat ke Mahkamah Konstitusi. Putusan MK akhirnya menolak perubahan ke sistem tertutup, namun kontroversi lain justru muncul: batas usia capres yang direvisi MK dinilai penuh konflik kepentingan. Kegaduhan itu memperkuat sinisme publik terhadap netralitas hukum dalam kontestasi elektoral.
Lebih dari itu, Pemilu 2024 menghadapi tantangan digital: disinformasi, bot politik, polarisasi media sosial, dan literasi politik yang rendah. Ini memperbesar jarak antara demokrasi sebagai prosedur dan demokrasi sebagai kesadaran kolektif.
Pemilu bukan satu-satunya indikator demokrasi. Ia bisa dijalankan dalam sistem otoriter sekalipun. Pertanyaannya, apakah pemilu di Indonesia telah mampu menghasilkan pemimpin dan parlemen yang benar-benar representatif, akuntabel, dan berpihak pada rakyat?
Rekoemendasi
Untuk itu, kita perlu menata ulang: Sistem pemilu agar tidak terlalu mahal dan penuh manipulasi. Pendidikan politik agar rakyat kritis, bukan sekadar memilih karena popularitas atau politik identitas. Reformasi partai politik agar kaderisasi dan ideologi kembali jadi roh, bukan sekadar kendaraan politik keluarga dan cukong. Penataan kembali presidential threshold demi keadilan dan keberagaman pilihan politik.
Demokrasi bukan hanya tentang memilih. Ia soal bagaimana kekuasaan dijalankan, dipertanggungjawabkan, dan diarahkan untuk kepentingan bersama. Selama pemilu hanya jadi formalitas, maka demokrasi Indonesia akan tetap berjalan pincang—meski dari luar tampak meriah dan bebas.
Penulis merupakan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar.