Perayaan Paskah di Indonesia juga dilaksanakan dengan cara berbeda di beberapa daerah, salah satunya di Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Jika di beberapa daerah Buha-buha Ijuk dilakukan dengan ibadah di gedung gereja, maka warga Parapat merayakannya di lokasi pekuburan. Tak hanya di Kota Parapat, namun di daerah Toba tepatnya di Padangsidempuan, Pulau Samosir, dan di wilayah yang banyak didiami oleh jemaatHKBP (Huria Kristen Batak Protestan).
Di beberapa lokasi Pekuburan Krsten Kota Siantar juga tampak ramai dikunjungi para peziarah,dengan menyalakan lilin ,bernyayi kidung kidung pujian diiringi doa.
Dalam perayaan Paskah, tradisi Buha-buha Ijuk begitu penting dan masuk dalam agenda gerejawi.
Asal-usul tradisi Buha-buha Ijuk ini meniru peristiwa di Alkitab ketika Maria Magdalena mengetahui kabar kebangkitan Yesus Kristus dari kubur.
Saat itu Maria Magdalena berlari ke kubur untuk memastikan kebangkitan Yesus Kristus dari kuburnya.
Dalam kepercayaan Nasrani, peringatan kebangkitan itu bukan sekadar kebangkitan daging, namun sekaligus bukti kemenangan Yesus (korban penyaliban) atas kuasa maut.
Sehingga di kemudian hari, sesuai pesan Alkitab, kematiannya diyakini sebagai membuka jalan sekaligus menggaransi kebangkitan bagi manusia yang percaya kepada Yesus sebagai juru selamat dunia.
Peristiwa itulah yang kemudian ditiru oleh warga Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dengan merayakan Paskah langsung di kuburan keluarganya. Oleh sejumlah misionaris atas nama zending, mereka membawa kabar baik (injil) sampai ke tanah Batak.
Tak kurang dari misionaris Ingwer Lodewijk Nommensen, rasul Batak, berhasil meyakinkan leluhur orang Batak atas keyakinan baru hingga nenek moyang orang Batak perlahan mulai meninggalkan ritual animisme dan dinamisme. Peran HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), sebagaimana kelanjutan misi Nommensen, kemudian membawa perubahan radikal soal keagamaan dan ritual-ritual di tengah masyarakat.
Perubahan yang dilakukan termasuk diantaranya dengan melakukan pembaharuan budaya. Namun hal tersebut tidak serta-merta mengubah budaya dan ritual nenek moyang yang sudah ada, namun beberapa yang dianggap layak tetap dipertahankan.
Salah satunya adalah berwujud ritual buha-buha ijuk yang identik dengan tradisi menziarahi kubur keluarga. Pada masa lalu sempat ada upaya untuk menggeser prosesi buha-buha ijuk ini dari lokasi pekuburan menjadi ibadah di gedung gereja.
Namun seorang peziarah mengatakan bahwa usaha itu tidak bertahan karena orang-orang tidak datang ke gereja, sehingga tradisi tersebut kembali dirayakan di kuburan. Pelaksanaan Tradisi Buha-buha Ijuk Pelaksanaan Tradisi Buha-buha Ijuk di Parapat ini dilakukan dengan melangsungkan ibadah subuh di pekuburan Kristen tempat keluarga mereka dimakamkan.
Masyarakat akan datang pada pagi hari ketika subuh dengan membawa lilin dan lampu sambil mengelilingi masing-masing kubur anggota keluarganya. Mereka kemudian beribadah dan memanjatkan doa kepada Tuhan agar jiwa mereka pun kelak akan turut dibangkitkan di akhir zaman. Dalam kegelapan dengan dibantu cahaya lampu dan lilin, peziarah akan bersama-sama mereka melantunkan kidung-kidung penderitaan.
Melalui tradisi di Tanah Batak ini, umat Nasrani kembali diingatkan untuk percaya dengan terminologi kebangkitan dari maut dan hidup kekal. Meski dalam kondisi gelap, para peziarah mengaku merasa tidak takut. Mereka juga mengaku memanfaatkan Tradisi Buha-buha Ijuk ini untuk menjalin silaturahmi. Sumber: indonesia.go.id (dhev/sc)