Sore itu, Kamis, 8 Mei 2025, langit di atas Medan Labuhan menggantung kelabu. Jalan Ileng, Gang Mangga, seperti biasa tak banyak bicara. Tapi di balik tenangnya lorong-lorong itu, nyala bahaya terus berdenyut. Tepat pukul 16.00 WIB, tim dari Unit 3 Subdit II Ditresnarkoba Polda Sumut membekuk seorang pemuda berinisial MFR, 29 tahun, di sebuah rumah sempit di ujung gang.
MFR tidak membawa senjata tajam, tidak sedang menyiapkan aksi tawuran, tapi di dalam saku dan dompet kecilnya ada dua belas paket sabu seberat 11,2 gram. Zat bening mematikan yang dalam diamnya mampu membakar banyak hal—termasuk akal sehat dan masa depan.
Di hadapan petugas, MFR mengaku hanya kaki tangan. Sabu itu, katanya, berasal dari seseorang berinisial S—masih dalam penyelidikan. Dari setiap gram, ia mendapat upah seratus ribu rupiah. Uang cepat untuk hidup sempit. Tapi dari kristal itulah banyak kekerasan bermula. Tawuran, yang dulu soal ego dan wilayah, kini lebih sering dipicu oleh ilusi dan paranoia akibat pengaruh narkoba.
Di gang-gang seperti ini, sabu tak hanya dijual. Ia disedot malam-malam, lalu meletupkan emosi yang tak terkendali. Anak-anak muda berubah jadi pejuang jalanan, bukan karena dendam, tapi karena pikirannya telah disulap jadi padang tempur. Mereka membawa batu, besi, bahkan parang. Tawuran pun terjadi, bukan karena alasan, tapi karena kehilangan akal.
Direktur Reserse Narkoba Polda Sumut, Kombes Pol Dr. Jean Calvijn Simanjuntak, S.I.K., M.H., menyebut bahwa pengungkapan seperti ini adalah bagian dari ikhtiar lebih besar: memutus rantai narkoba dan kekerasan. Sebab sabu bukan cuma soal hukum, tapi soal kemanusiaan yang terkoyak.
Kini MFR diamankan, barang bukti telah dikirim ke laboratorium forensik. Tapi lorong-lorong gelap tetap menyimpan potensi meledak. Karena di balik tiap tawuran yang viral, bisa jadi ada kristal sabu yang sebelumnya dibakar diam-diam.