Menjelang perayaan 80 tahun kemerdekaan Indonesia, pertanyaan mendasar muncul: sudahkah kita benar-benar merdeka? Jika merdeka berarti hidup dalam kebebasan dan keadilan, mengapa intoleransi masih terus menghantui negeri ini?
Setiap 17 Agustus, bangsa kita bersorak penuh semangat nasionalisme. Namun, di balik gemerlap perayaan, realitas menyakitkan tetap ada—kasus-kasus intoleransi yang terus terjadi, bahkan terhadap sesama anak bangsa yang hanya ingin beribadah dengan damai. Contohnya, persekusi terhadap jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia di Padang menjadi cermin kelam bahwa kebebasan beragama belum sepenuhnya terwujud.
Data menunjukkan lebih dari 400 insiden intoleransi dan 700 tindakan diskriminatif dalam setahun terakhir. Angka-angka ini bukan hanya statistik, tapi tanda kegagalan sistemik. Pendidikan yang tidak menanamkan nilai toleransi, aturan diskriminatif yang memberi ruang pada penolakan, hingga penegakan hukum yang lemah, semuanya berkontribusi pada situasi ini.
Wakil Ketua DPD GMNI Sumatera Utara, Bung Arga Manurung, dengan tepat menegaskan, “Mengapa kita masih berdebat soal rumah ibadah setelah 80 tahun merdeka? Jika hak dasar saja belum terlindungi, kemerdekaan ini hanyalah ilusi.” Pernyataan ini menggugah kita semua untuk refleksi dan aksi nyata.
Solusinya harus menyentuh empat hal krusial: penegakan hukum yang tegas dan adil, revisi aturan diskriminatif seperti Peraturan Bersama Menteri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006, evaluasi dan netralitas Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), serta pendidikan toleransi yang dimulai sejak dini.
Pemerintah juga harus lebih aktif dan konsisten dalam melindungi keberagaman, terutama melalui Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, Kepolisian, dan Komnas HAM. Jangan sampai kepala daerah dan aparat tunduk pada tekanan kelompok intoleran yang justru merusak persatuan.
Kemerdekaan sejati bukan hanya soal merdeka dari penjajah, tetapi merdeka dari segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan. Indonesia baru akan benar-benar merdeka ketika setiap warganya dapat hidup dengan aman, hormat, dan damai dalam keberagaman. Mari bersama-sama kita jaga Bhinneka Tunggal Ika bukan sebagai slogan, tapi sebagai kenyataan hidup.(sep)