Suara gemuruh itu datang begitu tiba-tiba, membangunkan warga Desa Tipang Bakkara dari lelapnya. Dalam hitungan detik, tanah dari bukit di ketinggian 1.200 meter itu meluncur deras, menabrak rumah-rumah yang berdiri di jalurnya.pada Rabu (19/2/2025) dini hari, pukul 00.30 WIB.
Di tengah kepanikan, beberapa warga hanya sempat menyelamatkan diri dengan pakaian di badan. “Saya mendengar suara keras, seperti gemuruh batu dan tanah bercampur. Saya langsung membangunkan anak-anak dan lari keluar,” kata Silaban, seorang warga yang rumahnya hancur tertimbun.
Sebanyak enam rumah rusak akibat bencana ini, dan 20 jiwa terdampak. Meski tak ada korban jiwa, dampaknya begitu terasa. Lahan pertanian yang menjadi sumber penghidupan sebagian warga ikut tertutup lumpur, menambah beban bagi mereka yang kini kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian.
Camat Baktiraja, Raja Sanggam Lumbangaol, menyatakan bahwa curah hujan tinggi selama sepekan terakhir menjadi pemicu bencana. “Tanah di sini memang rawan longsor, dan hujan yang terus turun membuatnya semakin labil,” ujarnya.
Meskipun tenda pengungsian tidak diperlukan karena warga bisa tinggal sementara di rumah keluarga mereka, perasaan trauma masih menyelimuti. “Kami takut kalau longsor susulan terjadi,” ujar seorang ibu yang memilih mengungsi bersama anak-anaknya.
Sementara itu, aparat gabungan dari TNI, Polri, dan BPBD telah turun ke lokasi untuk membantu evakuasi dan membersihkan material longsor. “Kami fokus membuka akses jalan dan memastikan warga dalam keadaan aman,” ujar Kapolres Humbang Hasundutan, AKBP Hary Ardianto.
Di antara puing-puing yang tersisa, para tetangga dan sanak saudara saling membantu. Mereka bergotong-royong, menunjukkan solidaritas yang menjadi kekuatan utama dalam menghadapi cobaan ini.
Di balik duka, harapan tetap ada. Warga percaya bahwa dengan dukungan pemerintah dan sesama, mereka bisa bangkit kembali.