Siantar|Pusat Studi Kebijakan Publik dan Politik (PUSTAKA NOMMENSEN) Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar menyoroti ironi Hari Guru Nasional yang dianggap semakin jauh dari esensi penghormatan terhadap profesi pendidik. Ketua PUSTAKA NOMMENSEN, Rindu Erwin Marpaung, menyebut perayaan Hari Guru kini cenderung menutupi kenyataan bahwa kebijakan terhadap guru berjalan tersendat dan tidak menyentuh akar persoalan.
“Guru mencerdaskan bangsa, tetapi siapa yang mencerdaskan kebijakan? Kita merayakan guru, namun membiarkan mereka menghadapi ketidakpastian struktural,” ujar Rindu dalam keterangan tertulis, Selasa, 25 Nopember 2025.
Polarisasi status guru—ASN, PPPK, honorer, hingga guru swasta—semakin sebut Rindu, memperlihatkan ketidaktuntasan pemerintah. Guru honorer terus bergantung pada janji penyelesaian, sementara guru swasta menunjukkan angka beban kerja tinggi dengan kesejahteraan rendah. “Kebijakan guru di Indonesia tidak hanya lambat, tetapi sering kali reaksioner. Banyak keputusan lahir tanpa memahami ekologi ruang kelas,” tambahnya.
Slogan “Hidup Guru! (Kebijakan Menyusul)” adalah bentuk kritik atas budaya kebijakan yang lebih pandai menciptakan seremoni daripada solusi. Selanjutnya, Rindu mengurai ketidakbijakan yang jarang disentuh pemerintah di antaranya; Kompleksitas birokrasi tunjangan dan kenaikan pangkat yang dianggap “menguras energi pendidik”, Minimnya perlindungan hukum ketika guru berhadapan dengan tekanan orangtua atau kasus kriminalisasi, Ketidakadilan alokasi anggaran antara sekolah negeri dan swasta.
“Guru adalah fondasi. Namun fondasi ini kita biarkan retak. Negara harus berhenti menganggap guru sekadar objek kebijakan,” ujar Rindu, dosen prodi Kewarganegaran itu.
Lebih lanjut Rindu Erwin Marpaung menegaskan bahwa politik pendidikan nasional harus berpindah dari retorika inspiratif ke tindakan konkret yang memuliakan guru. Guru tidak mungkin menjadi aktor utama pembangunan SDM jika mereka sendiri tidak terlindungi secara ekonomi dan administratif. “Guru hebat melahirkan Indonesia kuat. Tapi guru tidak akan hebat jika kebijakan negara tidak cerdas, tidak konsisten, dan tidak berpihak,” tegasnya.
PUSTAKA NOMMENSEN meminta pemerintah menjadikan Hari Guru sebagai momentum koreksi besar-besaran, bukan pengulangan tradisi seremoni tahunan. “Jika negara tidak memperbaiki tata kelola profesi guru, kita bukan hanya melemahkan pendidikan, tetapi melemahkan masa depan republik,” tegasnya.(*)