Media sosial tengah dihebohkan dengan pesan perpisahan dari jurnalis CNN Indonesia, Diana Valencia, yang keluar dari grup WhatsApp wartawan Istana Kepresidenan. Pesan itu menjadi viral setelah Diana menyampaikan bahwa dirinya tidak lagi menjadi wartawan istana usai ID Card peliputannya dicabut oleh Biro Pers Istana.
Penyebabnya? Diana mengajukan pertanyaan kepada Presiden Prabowo Subianto mengenai program Makan Bergizi Gratis (MBG), saat presiden tiba di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Sabtu (28/9). Pertanyaan itu disebut di luar konteks acara, dan memicu pencabutan akses peliputan Diana di lingkungan istana.
“Selamat malam, kakak-kakak. Per malam ini saya bukan wartawan istana lagi karena ID Card saya sudah diambil oleh Biro Pers karena saya dinilai bertanya di luar konteks acara,” tulis Diana dalam pesan yang tersebar di media sosial.
Ia menutup pesannya dengan berpamitan:
“Oleh karena itu, saya izin leave group ini. Terima kasih banyak, sampai bertemu di liputan lain.”
Respons Jurnalis Senior: Ini Tidak Tepat
Reaksi keras datang dari jurnalis senior Budiman Tanuredjo. Dalam unggahannya di media sosial, Budiman menyayangkan tindakan pencabutan ID Card terhadap Diana, dan menyebutnya sebagai langkah yang tidak tepat.
“Saya kira kebijakan ini tidak tepat. Sangat disayangkan,” kata Budiman.
Ia juga berharap ada evaluasi dan koreksi dari pihak terkait. Menurutnya, jurnalis memiliki tugas untuk bertanya dan menggali informasi tentang isu-isu publik, bukan sekadar meliput acara formal.
Istana Bungkam, Publik Bertanya
Hingga saat ini, pihak Istana Kepresidenan belum memberikan tanggapan resmi atas viralnya pesan tersebut. Sejumlah media yang berusaha mengonfirmasi juga belum mendapat respons.
Catatan Redaksi: Kebebasan Pers Dipertaruhkan
Peristiwa ini menjadi sorotan tajam terhadap kondisi kebebasan pers di bawah pemerintahan baru. Seorang jurnalis yang bertanya soal kebijakan publik seharusnya tidak dibatasi, apalagi kehilangan akses kerja karena pertanyaan yang dianggap tidak sesuai dengan acara.
Pembatasan seperti ini dapat menciptakan preseden buruk bagi iklim jurnalisme di Indonesia, sekaligus mengaburkan komitmen pemerintah terhadap transparansi dan keterbukaan informasi.
“Membungkam satu suara kritis hari ini, bisa berarti membungkam kepentingan publik esok hari.”