OLEH: MOHD. SALEH SITOMPUL
Alquran, Surah an-Nisaa’ : 135 “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan.”
Dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah keragaman situasi dan kondisi masyarakat masih terlalu sering dialami belum dapatnya dilakukan penegakan hukum yang berkeadilan. Di lingkungan kehidupan maupun berita-berita media massa berkenaan dengan penghukuman terhadap tersangka dari golongan masyarakat biasa dengan golongan masyarakat elite sering terjadi ketimpangan. Tingkat kesalahan pada orang-orang kecil hanya terbilang sederhana kesalahannya, misalnya pidana pencurian barang atau sesuatu benda yang nilainya rendah, namun vonis dari hakim bisa sampai enam bulan penjara. Sementara pada orang-orang kalangan atas yang melakukan korupsi atau penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, sehingga negara mengalami kerugian hingga ratusan juta rupiah, vonis hakim di Pengadilan Negeri yang berkisar antara enam bulan sampai satu tahun.
Allah SWT telah mengingatkan para hamba-Nya sebagai khalifah di muka bumi supaya senantiasa menegakkan keadilan. Didin Hafidhuddin menyatakan “Di antara ayat Alquran itu intinya menyatakan bahwa sebagai orang-orang beriman, kita harus mampu menegakkan hukum dengan seadil-adilnya, meski pun terhadap dirinya sendiri, kedua orang tua, dan kaum kerabat dekat. Setelah Rasulullah Saw meninggal dunia, asas keadilan berdasarkan persamaan itu, yang notabene merupakan esensi dari kemerdekaan, mampu dilanjutkan oleh para sahabat yang mulia.
” Di masa khulafaurrasyidin telah terkemuka di dalam sejarah, para khalifah berupaya untuk menegakkan hukum dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang adil di dalam kehidupan masyarakat Islam masa itu.
Suatu hari, seorang rakyat kecil berangkat dari Mesir menuju Madinah untuk mengadukan perilaku anak Gubernur, Amr bin Ash yang memukulnya dengan sebuah cambuk hanya karena dikalahkan dalam pertandingan ketangkasan menaiki kuda. Bahkan ia pun dijebloskan ke dalam penjara.
Mendengar itu, Umar bin Khattab menyuruh Amr bin Ash dan anaknya untuk segera datang menghadap. Umar lalu melemparkan cambuk pada rakyat kecil tadi untuk memukul anak pembesar itu. Ketika itu pula, khalifah Umar berkata kepada Gubernur Mesir Amr bin Ash dengan ucapannya yang sangat terkenal “Wahai Amr bin Ash, mengapa engkau memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka.”
Memperbudak manusia yang memiliki makna merendahkan martabatnya, demikian pula kalau seseorang atau sekelompok masyarakat menghukum seseorang tanpa proses peradilan yang transparan, merampas hak asasinya, memasung kreativitas dan kebebasannya untuk menyatakan pendapatnya serta menghalangi seseorang untuk menjalankan keyakinannya dan untuk mendapatkan cita-cita hidupnya, sama artinya dengan menista atau menzhaliumi orang tersebut. Namun kebebasan itu tentunya bukanlah tidak terbatas atau dapat dilakukan semena-mena sehingga bertentangan dengan hukum atau norma-norma yang berlaku. Mestinya kebebasan harus ada batas-batas tertentu, sehingga persamaan dan keadilan mampu tertegak dengan baik dan benar.
Karena itu, dari sudut pandangan ajaran Islam, keadilan dan persamaan sesuatu yang esensial dalam kehidupan manusia dan masyarakatnya, sehingga harus ditegakkan dalam berbagai bidang kehidupan lainnya, termasuk di bidang ekonomi atau usaha-usaha untuk pemenuhan hajat hidup. Tidak boleh sekelompok orang diberikan hak-hak istimewa yang demikian besar dalam menguasai dan mengendalikan lapangan usaha. Sementara itu, kaum dhu’afa atau kelompok manusia lainnya disebabkan status sosialnya yang rendah itu sama sekali tidak memiliki aset ekonomi dan mempunyai akses kepada pejabat pengambil keputusan, maka seringkali dikejar-kejar atau ditindak oleh petugas yang kadangkala mendapatkan perlakuan yang tidak manusawi, hanya karena usahanya itu dianggap mengotori lingkungan, tidak memiliki ijin, atau sebab-sebab lainnya yang ditetapkan secara sepihak.
Inilah suatu kondisi yang sangat ironi dan tidaklah boleh dibiarkan terlalu lama.
Sebab, hal itu dapat menggoncangkan aktivitas dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Untuk mewujudkan persamaan dan menegakkan keadilan dengan sesungguhnya berkorelasi dengan menjunjung tinggi hukum. Allah SWT memerintahkan kepada hamba-Nya, Surah al-Maaidah : 8 “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Karena itu, pentingnya membina persamaan dan penegakan hukum dengan adil dalam ajaran Islam, amat berhubungan dengan nilai-nilai tauhid. Sebab tauhid adalah ajaran pokok dalam Islam. Pandangan M. Amien Rais, tauhid ini justru memberikan pesan kepada setiap Muslim untuk membangun suatu masyarakat yang bebas dari unsur-unsur eksploitatif, feodalistis, dan menghindari pelapisan masyarakat berdasarkan kelas, ras, latar belakang genetik, dan lain sebagainya.
Tauhid itu pula yang mengarahkan kesatuan ummah. Ummah menurut Ismail al-Faruqi menunjukkan sebuah organisme yang bagian-bagiannya bergantung satu sama lainnya. Karena itu persamaan dan keadilan yang diberlakukan pada setiap insan atau umat dalam pandangan ajaran Islam mengimplementasikan nilai-nilai tauhid secara paripurna.
Pematangsiantar, 10 DZULQAIDAH 1438 H
03 AGUSTUS 2017 M
MOHD. SALEH SITOMPUL
Discussion about this post