Kapolres Simalungun AKBP Marganda Aritonang, S.H., S.I.K., M.M., menghadiri Rapat Koordinasi (Rakor) percepatan penyelesaian konflik tanah antara PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan masyarakat Lamtoras Nagori Sihaporas. Kegiatan berlangsung di Balei Harungguan Djabanten Damanik, Kantor Bupati Simalungun, Pamatang Raya, Selasa (14/10/2025) pukul 09.00 hingga 13.30 WIB.
Rakor ini menjadi wadah penting dalam mencari solusi atas konflik pertanahan yang berkaitan dengan klaim tanah adat dan pelestarian warisan budaya di Kabupaten Simalungun.
Kapolres Simalungun AKBP Marganda Aritonang menegaskan perlunya langkah konkret pemerintah daerah untuk menuntaskan polemik tersebut.
“Semoga kegiatan ini menghasilkan langkah terbaik yang dapat diambil oleh Pemerintah Kabupaten Simalungun sebagai kunci penyelesaian konflik,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa setiap penanganan konflik tanah harus berlandaskan hukum.
“Sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012, penanganan konflik harus berada di bawah kendali pemerintahan,” jelasnya.
Menurut AKBP Marganda, Rakor dengan melibatkan seluruh pemangku adat merupakan langkah strategis agar keputusan pemerintah nantinya berpihak pada kepastian hukum dan keadilan.
“Hasil Rakor ini diharapkan menjadi landasan kuat bagi Pemkab untuk mengambil sikap tegas, tidak hanya di Sihaporas, tetapi juga di wilayah-wilayah lain yang memiliki potensi konflik serupa,” tambahnya.
Konflik antara masyarakat yang mengatasnamakan masyarakat hukum adat Lamtoras dengan PT TPL ini bermula dari klaim kepemilikan tanah adat di wilayah Nagori Sihaporas, Kecamatan Pamatang Sidamanik. Isu tersebut berkembang menjadi perdebatan soal status tanah adat dan warisan sejarah kerajaan-kerajaan lama di Simalungun.
Rakor dihadiri oleh unsur Forkopimda, ahli waris tujuh kerajaan Simalungun (Siantar, Dolok Silau, Tanoh Jawa, Panei, Purba, Raya, dan Nagur), Wakil Ketua Partua Maujana Simalungun, Ketua Umum Persatuan Keturunan Raja/Cendikiawan Simalungun, perwakilan Himapsi, Ikatan Keluarga Muslim Simalungun, serta sejumlah organisasi adat lainnya.
Dalam forum itu, Amsar Saragih dari PMS menegaskan bahwa tidak ada tanah adat di Simalungun.
“PMS menginginkan Bupati memutus pengajuan tanah adat agar tidak terjadi konflik kepemilikan,” ujarnya.
Senada, dr. Sarmedi Purba, Ketua Umum Pemangku Adat Cendikiawan Simalungun, menilai bahwa keberadaan masyarakat adat belum memiliki dasar hukum di daerah tersebut.
“Masyarakat adat belum ada di Simalungun dan tidak ada tanah adat di sini. Kita harap konflik di Sihaporas tidak terulang,” tegasnya.
Sementara itu, Panner Damanik, Ketua Ihutan Bolon Damanik, mendorong pemerintah bersikap lebih berani.
“Pertemuan seperti ini sudah sering dilakukan. Sekarang tinggal Pemkab yang harus tegas mengambil keputusan,” katanya.
Dari sisi regulasi, Kabag Hukum Pemkab Simalungun Frengki Purba menjelaskan bahwa hingga kini belum ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur pengakuan masyarakat adat maupun tanah adat di Simalungun.
Turut hadir Sekda Kabupaten Simalungun Mixnon Simamora mewakili Bupati, Dandim 0207/SML Letkol Inf. Gede Agus Dian Pringgana, perwakilan penerus raja-raja Simalungun, serta komunitas adat. Dari data yang dihimpun, dari 267 kepala keluarga di Sihaporas, hanya 49 KK yang mengklaim tanah adat Lamtoras.
Rakor ditutup pukul 13.30 WIB dengan jamuan makan siang bersama, meninggalkan harapan agar konflik pertanahan di Simalungun dapat diselesaikan secara adil dan berkeadilan.